Senin, 29 Maret 2010

Orang bijak taat pajak...orang pajak harus bijak..

Fenomena terkuaknya mafia kasus di bidang pajak memang sedang jadi pembicaraan yg hangat akhir akhir ini. Berawal dari pengakuan sepihak mantan Kabareskrim Susno Duaji beberapa waktu lalu terkait “makelar kasus” yang yang dilakukan mantan bawahannya ternyata juga menyeret salah satu oknum pegawai ditjen pajak. Niat, pak susno yang ingin membuka sedikit demi sedikit praktek kemakelaran di Institusi Polri tanpa disengaja telah membuka kebobrokan di insitusi pajak yang dilakukan oleh oknum oknum yang tidak bertanggung jawab.

Pajak telah lama diandalkan negara ini sebagai salah satu sumber pendapatan untuk pembiayaan belanja negara dan pembangunan. Oleh karena itu dari waktu ke waktu pemerintah berusaha ’menggenjot’ penerimaan pajak dengan cara menambah dan mendisiplinkan wajib pajak untuk membayar pajak. Sebagai institusi penagih dan penerima pajak, yang mempunyai wewenang yang besar tak ayal Institusi pajak yang dijuluki ‘tempat basah’ sangat rentan terhadap godaan dan penyalah gunaan.

Konon “penyelewengan” pajak yang juga melibatkan oknum ‘orang dalam’ sebagai makelar kasus sudah menjadi rahasia umum. Praktek cincai dalam pembayaran dan penyelesaian kasus kasus pajak diyakini masih subur di era reformasi ini. Hal itu terlihat dari terkuaknya kasus suap yang menyeret oknum pegawai Ditjen pajak yang bernama Gayus Tambunan. Kejadian ini telah memberikan tamparan pada institusi pajak dan Departemen Keuangan yang sedang melakukan pembenahan internal atas nama reformasi birokrasi. Reformasi birokrasi yang sedang digadang digadang sebagai salah satu cara untuk memperbaiki kualitas birokrasi kita dengan cara meningkatkan kesejahteraan pegawai / birokrat melalui pemberian remunerasi ternyata belum efektif pada ‘tempat tempat basah’ dan rentan penyelewengan seperti yang terjadi pada ditjen pajak. Hal itu didasari oleh masih adanya mental pegawai yang bobrok seperti gayus dkk.

kasus kasus kemakelaran tersebut sudah seperti lingkaran setan yang melibatkan oknum oknum dari institusi lainnya termasuk penegak hukum. Imbas yang paling menakutkan akan kasus kasus tersebut adalah reaksi masyarakat yang tidak lagi percaya pada institusi pemerintah baik di bidang hukum maupun di bidang pajak. Ketidak percayaan rakyat pada pemerintah akan menjadi sesuatu yang sangat berbahaya. Bisa dibayangkan jika rakyat Indonesia memboikot membayar pajak karena gerah dengan tingkah polah pegawai pajak yang dengan kewenangan bisa semena-mena terhadap pajak yang dipungutnya. Bisa juga kita bayangkan kalau rakyat sudah tidak lagi percaya akan institusi hukum kita dan bertindak menggunakan hukum ala mereka masing-masing

Kini perlu dilakukan pembenahan secara simultan pada institusi pemerintah. Lingkaran setan yang telah terbentuk harus diputuskan secara bersamaan. Supremasi hukum harus ditegakan dengan cara menuntaskan setiap kasus hukum tanpa pandang bulu. Suatu system harus dibuat untuk mencegah praktek cincai dalam setiap kasus kasus hukum dan memperkuat fungsi control dan pengawasan internal dan eksternal. Aparat hukum harusnya lebih bijak untuk menyikapi nyanyian susno dengan memeriksa kebenarannya terlebih dahulu ketimbang mempersoalkan benar atau tidaknya etika susno. Di sisi lain, Satgas mafia hukum yang sempat ngetop setelah ‘nge-gap’ sel mewah arthalita CS, ditantang untuk bisa membantu membongkar kasus Gayus tersebut dan membongkar kasus yang dilakukan gayus gayus yang lain di institusi pajak. Institusi pajak pun harus melakukan pembenahan internal dan memperkuat fungsi pengawasan. Wacana penggabungan pengadilan pajak dengan pengadilan umum yang sudah lama terpisah serta evaluasi terhadap life style pegawai pajak harus segera dipikirkan untuk dilakukan. Kepolisian dan kejaksaan juga ditantang untuk memutus lingkaran setan dan ‘menyortir’ oknum oknum yang selalu ‘bermain’ dalam setiap kasus kasus hukum. Sudah saatnya pemerintah bertindak bijak dan cepat dalam menyelesaikan setiap kasus-kasus dan tidak membiarkannya mengambang dan menghilang begitu saja bagai pasir yang ditiup angin.

Selasa, 23 Maret 2010

Century oh Century

Kasus Century yang telah lama bergulir sedikit banyak telah menyedot energi bangsa ini. Kasus yang dianggap mega skandal ini diindikasikan oleh sebagian pihak telah merugikan negara dan melibatkan orang orang penting negara ini. Polemik yang muncul berpotensi menyebabkan konflik yang bisa memecah belah persatuan dan kesatuan. Selama 100 hari pertama Pemerintahan SBY nampaknya hanya didominasi oleh masalah kontroversi kasus century.

Bagi orang awam seperti saya, kasus century tersebut terlihat sangat membingungkan dan terlihat seperti acara reality show yang selalu membuat kejutan pada setiap episodenya. Bagaimana tidak, kasus yang diharapkan dapat dibuka secara terang benderang malahan semakin terlihat abu abu dan memunculkan cerita yang menguras energi orang-orang yang menyaksikannya. Data dan kesaksian yang diungkapkan pada sidang Panitia khusus (Pansus) yang juga dibuka secara terang benderang kepada masyarakat melalui penayangan setiap sidang pansus tersebut seperti cerita pro kontra yang seakan tidak ada ujungnya karena masing-masing pihak menggunakan argument berdasarkan keilmuannya dan kacamatanya masing-masing.

Kisah reality show ini pun untuk sementara waktu mencapai klimaks ketika Rapat Paripurna secara voting menyimpulkan bahwa telah terjadi ‘penyelewengan’ dalam bailout century tersebut dan menuntut beberapa nama yang terlibat untuk diproses secara hukum. Peristiwa tersebut pun telah membawa perubahan besar pada peta perpolitikan di Indonesia. Perahu koalisi yang dinahkodai Partai Demokrat seakan porak poranda setelah beberapa partai dalam satu biduk secara nyata berbeda pendapat dengan sang nahkoda perihal rumusan rapat paripurna. Vonis Politik pun telah dijatuhkan kepada para pejabat negara yang terlibat dalam pengambilan keputusan tersebut.

Bola liar kini berada di tangan Presiden. Keputusan bersalah secara politik sedianya telah diserahkan oleh DPR kepada Presiden untuk dilanjutkan ke proses hukum dengan usulan men-non aktifkan pejabat negara yang terlibat dalam pengambilan keputusan bailout pada masa itu. Pihak KPK dan Kepolisian pun didesak memproses secara hukum apa apa yang sudah dirumuskan oleh pansus DPR.

Bagi saya, skandal tersebut pun masih menyisakan tanda tanya besar perihal “aksi” yang dianggap sebagai ‘penyelamatan’ ataukah ‘penggarongan’ atas nama bailout. Memang benar setiap kebijakan dan keputusan harus diambil secara cepat dan tepat dan akan selalu mempunyai resiko dan konsekuensi. Akan tetapi memang itulah tugas si ‘pengambil keputusan’ yang selalu berhadapan dengan resiko. Namun Salah dan benar akan menjadi relatif ketika kita menilai hal tersebut dengan kacamata berbeda. Keputusan Bailout yang notabene berlatar belakang ekonomi akan dapat dinilai salah dengan kacamata politik. Keputusan ekonomi pun akan dinilai berbeda jika kita melihatnya dengan kacamata keadaan yang berbeda. Sistemik atau tidak, krisis atau tidak, perlu di bailout atau tidak, tentu akan sangat berbeda ketika masing masing pihak melihatnya dengan kacamata dan pandangannya sendiri sendiri terlebih lagi ketika kacamata tersebut bernama kepentingan pribadi dan golongan tertentu. Akan tetapi satu hal yang harus diingat bahwa kelemahan utama dalam proses pengambilan keputusan di negeri kita adalah pada Data yang kurang akurat sebagai bahan pengambilan keputusan. Data yang salah berkonsekuensi menghasilkan keputusan yang salah dan akan berdampak menjadi masalah.

Disini saya tidak berdiri sebagai pihak yang pro atau kontra dalam pemberian Bailout dan terlepas dari benar atau salahnya kebijakan tersebut, namun satu hal yang harus diperhatikan adalah sistem manajemen data yang dijadikan acuan pengambilan sebuah kebijakan di negeri kita. Kondisi systemic, krisis, kelayakan suatu Bank dan kondisi lainnya adalah data yang sangat penting dalam penentuan suatu kebijakan. Harus diingat, lemahnya kebijakan pada negara berkembang dikarenakan data yang kurang akurat dan pejabat yang bermental korup.

Sebagai penggemar setia reality show “kasus century” kita hanya bisa menunggu bagaimana akhir cerita dari kasus tersebut. Rakyat menantikan bagaimana supremasi hukum kita bisa ikut berperan dan menjadi skenario utama dalam ‘tayangan’ tersebut.

Kamis, 04 Juni 2009

Neolibs

Pemilihan presiden yang akan datang memunculkan sebuah issue yaitu wacana tentang neo liberalisme (neo libs). ketika semua pasangan berlomba lomba menunjukan kecintaannya pada rakyat dan mengedepankan ekonomi yang pro rakyat maka paham ekonomi neolibs menjadi issue yang sangat populer karena paham tersebut dianggap berseberangan dan tidak pro rakyat. istilah neolibs ramai menjadi perbincangan ketika salah satu pasangan capres dan cawapres (SBY-Boediono) dituding menganut paham Neolibs lantaran kebijakan yang dianggap pro liberal seperti privatisasi, stabilitas makro tanpa pemerataan dan lain lain.

Masyarakat awam tentu bertanya tanya apa itu Neolibs, karena mereka mungkin lebih familiar dengan istilah Neozep (obat sakit kepala) ketimbang istilah tersebut. Neoliberalisme yang juga dikenal sebagai paham ekonomi neoliberal mengacu pada filosofi ekonomi-politik akhir-abad keduapuluhan, neolibs merupakan redefinisi dan kelanjutan dari paham liberalisme klasik yang dipengaruhi oleh teori perekonomian neoklasik yang mengurangi atau menolak penghambatan (campur tangan) oleh pemerintah dalam ekonomi domestik karena akan mengarah pada penciptaan distorsi dan High Cost economy yang kemudian akan berujung pada tindakan koruptif. Paham ini memfokuskan pada pasar bebas dan perdagangan bebas merobohkan hambatan untuk perdagangan internasional dan investasi agar semua negara bisa mendapatkan keuntungan dari meningkatkan standar hidup masyarakat atau rakyat sebuah negara dan modernisasi melalui peningkatan efisiensi perdagangan dan mengalirnya investasi.

Paham liberalisme runtuh ketika era depresi hebat atau yang dikenal dengan istilah Great Deppression yang meluluh lantakan negara abang Sam pada tahun 1930an. ketika itu paham liberalisme yang meminimalisir peranan negara terbukti gagal dan John Maynard Keynes yang membawa konsep peranan negara dalam mengintervensi perekonomian muncul bak pahlawan yang menyelamatkan perekonomian pada saat itu. Setelah era keruntuhan liberalisme Neolibs lahir sebagai bentuk liberalisme gaya baru yang dipelopori sejumlah tokoh seperti Thatcher dan Reagan dan dikembangkan oleh teori gagasan ekonomi neoliberal yang telah disempurnakan oleh mahzab Chicago yang dipelopori oleh Milton Friedman.

Neolibs bertujuan menghidupkan paham yang mempercayai kekuasaan pasar sehingga individu akan bebas berusaha dan mengurangi intervensi negara. penerapan agenda neoliberal dimobilisasi oleh Bank Dunia dan IMF dalam suatu paket kebijakan bernama Konsensus washington. Konsensus Washington yang menjadi menu dasar program penyesuaian struktural IMF tersebut dalam garis besarnya meliputi : (1) pelaksanan kebijakan anggaran ketat, termasuk penghapusan subsidi negara dalam berbagai bentuknya, (2) pelaksanaan liberalisasi sektor keuangan, (3) pelaksanaan liberalisasi sektor perdagangan, dan (4) pelaksanaan privatisasi BUMN.

Yang menjadi pertanyaan apakah Indonesia saat ini menganut paham Neoliberalisme?. Jika melihat kebijakan yang sudah diambil sampai sekarang ini seperti pelaksanaan deregulasi, privatisasi beberapa BUMN seperti Telkom, Indosat dll, dan liberalisasi perdagangan boleh jadi Indonesia memang menganut paham pro pasar. tapi kita janganlah lupa Pemerintah juga menintervensi perekonomian dengan cara pemberian subsidi, stimulus perekonomian, dll. Saya teringat Pidato deklarasi SBY yang mengatakan bahwa dia menganut "Ekonomi Jalan Tengah" yaitu ekonomi terbuka yang berkeadilan serta pembangunan yang mengedepankan pro poor, pro job and pro growth. Menurut pendapat saya jalan tengah merupakan perpaduan antara sosialis yang mengutamakan peran pemerintah dan liberalis yang mengutamakan peran pasar. di era Globalisasi seperti sekarang ini memang tidak ada negara yang dapat menjalankan paham liberalisme murni atau sosialis murni. Negara sekelas Cina pun bergeser ke arah liberalisasi perdagangan yang ditandai dengan keikut sertaan mereka dalam organisasi WTO. Di sisi lain Amerika Serikat yang menganut paham liberal pun masih mensubsidi Petaninya dan memberikan Bail-out (Stimulus) ketika perekonomiannya menghadapi krisis yang disebabkan oleh suprime mortgage.

Yang menjadi hal yang terpenting sekarang adalah bagaimana perekonomian suatu negara dapat berjalan dan memberikan kesejahteraan sebesar-besarnya pada masyarakat. Ekonomi kerakyatan, Ekonomi jalan Tengah dan Ekonomi Kemandirian yang diusung para calon pemimpin kita hendaknya bertujuan untuk mensejahterakan rakyat Indonesia. mungkin kita tak perlu begitu khawatir akan issue neolibs sebab ada hal yang lebih berbahaya dari Neolibs yaitu "neo lip service" yaitu obral janji yang biasa sering terdengar ketika kampanye dan tidak terealisasi ketika terpilih..




Rabu, 03 Juni 2009

Prita, Prahara si Konsumen dan Produsen

Seminggu terakhir media ramai membicarakan Prita Mulyasari ibu 2 anak yang terkait kasus pencemaran nama baik sebuah RS mewah di bilangan Tanggerang Selatan. kasus yang bermula dari kiriman surat elektronik (email) Prita kepada 10 orang temannya terkait keluhan terhadap pelayanan sebuah rumah sakit yang dianggap melakukan "penipuan" pada dirinya berlanjut menjadi kasus pencemaran nama baik dan Prita dikenai pasal 27 ayat 3 Undang Undang Informasi dan transaksi elektronik (UU ITE) dan sempat mendekam di tahanan selama kurang lebih 3 minggu sebelum akhirnya "dibebaskan" dan dialihkan status penahanannya menjadi tahanan kota.

Apa yang terjadi pada Prita tersebut adalah cerminan dari keseharian konsumen kita yang sering mengeluhkan tentang pelayanan umum yang dianggap kurang memuaskan atau tak jarang sering "menipu" konsumen. keluhan Prita terhadap pelayanan yang dia anggap kurang memuaskan dan cenderung menipu adalah hak prita sebagai konsumen yang merasa tidak terlayani dengan baik. Dalam UU No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dalam pasal 4 disebutkan salah satu hak konsumen adalah hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan atau jasa yang digunakan.

Yang menjadi permasalahan adalah keluhan yang disampaikan Prita dianggap oleh pihak RS Omni International sebagai sebuah bentuk pencemaran nama baik terhadap Rumah Sakit dan 2 orang Dokter yang disebut sebut telah melakukan penipuan. menurut keterangan pihak RS Omni surat elektronik yang dikirimkan Prita telah menyebar ke berbagai mailing list dan telah menjatuhkan kredibilitas dokter serta nama rumah sakit tersebut, hal itu menyebabkan omset RS merosot dan pemutusan secara sepihak oleh pihak pihak yang bekerja sama dengan RS tersebut tambahnya.

Kita harus menyikapi masalah tersebut secara bijak apakah keluhan keluhan konsumen terhadap suatu barang / jasa (pelayanan umum) yang juga dijamin oleh UU Perlindungan Konsumen tersebut dikategorikan sebagai suatu bentuk pencemaran nama baik?. kita mungkin sering membaca kolom "surat pembaca" yang terdapat di surat kabar, majalah dan media elektronik yang berisi tentang keluhan konsumen terhadap suatu produk ataupun suatu layanan (jasa) yang berisi kritikan terhadap suatu produk tertentu ataupun layanan tertentu. kalau saja surat pembaca tersebut dianggap sebagai pencemaran nama baik oleh pihak pihak yang merasa dikritik tentu saja Prita Prita lainnya yang dikenai tuduhan pencemaran nama baik akan banyak bermunculan.

Dalam hal tersebut memang memerlukan kearifan dari kedua belah pihak baik produsen penyedia barang/jasa dan konsumen sebagai pengguna barang/jasa. Kritik yang diberikan Konsumen hendaknya dapat diberdayakan oleh pihak produsen sebagai fungsi kontrol dari masyarakat terhadap layanan yang diberikan. Jika kritik yang diberikan konsumen dianggap tidak benar maka pihak produsen dapat memberikan counter argument dan pembelaan terhadap tuduhan tersebut. pada kasus ini pihak RS bisa saja melakukan pembelaan dengan memberikan klarifikasi dan konfirmasi melalui media electronic serupa. Di sisi lain hendaknya konsumen hendaknya melakukan kritik yang bertujuan membangun dan memperbaiki. cara lain yang dapat dilakukan adalh mengadukan ke lembaga lembaga perlindungan konsumen seperti YLKI, BPSK dan lembaga lembaga lainnya. Kritik dari konsumen merupakan wujud "solidaritas" sesama konsumen yang tidak ingin membiarkan konsumen lainnya terkena hal yg dialaminya.

Julukan pembeli (konsumen) adalah raja memang harus diperhatikan oleh produsen sebagai penyedia barang/jasa. walaupun raja tidak dapat serta merta pula berlaku sewenang wenang akan tetapi produsen harus memperhatikan bagaimana mewujudkan kepuasan konsumen. Ya, hubungan Produsen dan Konsumen adalah suatu bentuk simbiosis mutualisme yang seharusnya saling menguntungkan satu sama lain bukan.